20.1.12

STUDI PERBANDINGAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA YANG MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN DIRECT INSTRUCTION DENGAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED INSTRUCTION

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Pendidikan dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan serta mengembangkan potensi yang dimiliki seseorang sebagaimana yang diungkapkan oleh A.B Hasibuan dalam Leni (2009: 1) bahwa “Pendidikan sebagai upaya atau kegiatan yang meningkatkan kemampuan seseorang dalam segala bidang meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap“. Dengan demikian pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang sangat penting peranannya dalam upaya membina dan membentuk manusia yang berkualitas.
Pendidikan matematika merupakan bagian dari pendidikan. Jadi pendidikan matematika merupakan salah satu aspek kehidupan yang sangat penting peranannya dalam upaya membina dan membentuk manusia yang berkualitas. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Hudojo dalam Leni (2009:1) mengatakan bahwa “Dalam perkembangan modern, matematika memegang peranan penting karena dengan bantuan matematika semua ilmu pengetahuan sempurna“.
Pembelajaran matematika di sekolah merupakan sarana berpikir yang jelas, kritis, kreatif, sistematis, dan logis. Arena untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari, mengenal pola-pola hubungan dan generalisasi pengalaman dan pengembangan kreatifitas. Hal ini menyebabkan matematika dipelajari di sekolah oleh peserta didik dari SD, SMP/MTS hingga SMA/MA bahkan matematika juga dipelajari oleh mahasiswa di perguruan tinggi.
Pentingnya peranan matematika dalam kehidupan sehari-hari, maka pemerintah Indonesia selaku penyelenggara sentral pendidikan mengupayakan peningkatan mutu dan kualitas pembelajaran matematika. Salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pembelajaran matematika yaitu penyelenggaraan seminar atau penataran bagi guru matematika, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan dan kualitas mengajar guru di kelas.
Kemampuan guru dalam mengelola proses belajar di kelas sangat penting artinya, karena guru bisa memanipulasi proses belajar dengan berbagai macam metode, pendekatan, strategi, dan model pembelajaran bagi siswa. Sehingga dalam proses belajar dan mengajar siswa tidak merasa jenuh dan monoton.
Upaya lain yang telah dilakukan pemerintah adalah melengkapi dan memenuhi segala kebutuhan sarana dan prasarana guna menunjang kegiatan belajar dan mengajar di sekolah, khususnya dalam pembelajaran matematika. Dengan terpenuhinya segala macam bentuk kelengkapan sarana dan prasarana belajar, maka proses belajar akan berjalan dengan baik, dan siswa maupun guru sebagai pengelola proses belajar mengajar bisa mengembangkan kreatifitasnya masing-masing.
Meskipun upaya perbaikan terus diusahakan, akan tetapi masih terdapat masalah-masalah belajar yang ditemukan di sekolah. Masalah tersebut adalah masalah rendahnya hasil belajar matematika siswa, salah satunya dijumpai di SMA Negeri 7 Kerinci.
Masalah rendahnya hasil belajar matematika siswa di SMA Negeri 7 Kerinci ini dapat dilihat dari nilai semester yang diperoleh siswa tidak mencapai atau memenuhi standar Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) yang telah ditetapkan, yaitu 58,5. Hasil belajar peserta didik semester 1 dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 1.  Persentase Jumlah Siswa yang Memperoleh Hasil Belajar diatas KKM pada Semester I Kelas X SMAN 7 Kerinci Tahun Pelajaran 2010/2011.
Kelas
X A
X B
X C
X D
X E
X F
Rata-Rata Pencapaian KKM
57
58
59
59
60
58
Sumber Guru Matematika Kelas X SMA Negeri 7 Kerinci
Dilihat dari tabel di atas, dapat dikatakan masih ada siswa yang memperoleh nilai di bawah KKM yang telah ditentukan. Ini berarti bahwa hasil belajar matematika siswa masih rendah. Masalah ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, harus ada usaha untuk mengatasi masalah ini. Jika masalah ini dibiarkan, maka hasil belajar matematika siswa tidak akan meningkat dan siswa tidak mampu melanjutkan pada materi pelajaran selanjutnya, dikarenakan pada pembelajaran matematika materi yang dipelajari saling berkaitan satu sama lain.
Peran guru sangat diperlukan dalam mengatasi masalah rendahnya hasil belajar matematika siswa ini. Guru sebagai pengelola proses pembelajaran di kelas harus bisa menentukan dan menerapkan beberapa model pembelajaran yang cocok bagi siswa. Sesuai dengan kebutuhan, keadaan, dan kemampuan siswa. Variasi model pembelajaran yang dilakukan oleh guru, akan menghindari siswa dari suasana jenuh dan bosan dalam belajar matematika di kelas.
Dari hasil observasi yang dilakukan penulis di SMA Negeri 7 Kerinci Tahun Pelajaran 2010/2011, penulis memperoleh kesimpulan bahwa proses pembelajaran matematika masih terpusat pada guru. Guru sangat mendominasi proses belajar mengajar. Guru hanya menggunakan cara pengajaran tradisional, yaitu dengan menjelaskan materi pelajaran dan memberikan tugas. Tanpa melakukan pengembangan variasi mengajar.
Terpusatnya proses pembelajaran matematika pada guru, menyebabkan siswa merasa jenuh dan membosankan. Pada saat pembelajaran matematika berlangsung sering ditemui siswa yang mengantuk dan kurang bersemangat untuk mengikuti pelajaran yang diberikan guru. Bahkan ada sebagian siswa yang tidak masuk pada saat jam atau waktu pelajaran matematika. Kejenuhan ini tidak lepas dari kegiatan siswa yang hanya mencatat, mendengarkan penjelasan guru, dan mengerjakan latihan. Proses belajar di kelas yang monoton ini, mengakibatkan hasil belajar matematika siswa rendah dan tidak sesuai yang diharapkan.
Faktor lainnya adalah tingkat antusias siswa dalam mengikuti mata pelajaran matematika masih rendah. Salah satu contohnya yaitu siswa kurang aktif bertanya pada guru tentang bagian mana yang belum dipahami, padahal guru telah memberikan kesempatan bertanya pada siswa. Anggapan guru bahwa materi pelajaran yang diberikan tersebut memiliki tingkat kesukaran yang tinggi.
Kurangnya aktifitas siswa dalam belajar tidak terlepas pada fungsi pengawasan yang dilakukan oleh orang tua. Sebagian besar orang tua siswa bekerja sebagai buruh dan petani sehingga siswa kurang terkontrol. Keadaan lingkungan seperti ini, membuat siswa merasa bebas dan tidak terikat pada siapapun. Dengan demikian, siswa tidak merasa terbebani oleh tugas mereka untuk menuntut ilmu di sekolah yang pada akhirnya menyebabkan hasil belajar mereka rendah.
Untuk mengatasi masalah rendahnya hasil belajar matematika, maka guru harus bisa memanipulasi model atau metode pembelajaran. Penggunaan model bertujuan untuk mendorong siswa agar berusaha untuk meningkatkan hasil belajar matematika. Peran guru dalam menerapkan model dan metode pembelajaran ini juga bertujuan untuk mengembangkan kreasi berpikir siswa dan dapat menghilangkan rasa jenuh dan bosan saat proses pembelajaran berlangsung. Serta dapat dijadikan sebagai pemacu siswa untuk meningkatkan hasil belajar mereka di sekolah.
Model pembelajaran Direct Instruction merujuk pada pola-pola pembelajaran dimana guru banyak menjelaskan konsep atau keterampilan kepada sejumlah kelompok siswa dan menguji keterampilan siswa melalui latihan-latihan dibawah bimbingan dan arahan guru. Sedangkan metode pemberian tugas awal kepada siswa merupakan hal yang sangat diperlukan karena dengan adanya tugas awal akan menunjang pemahaman siswa terhadap materi pelajaran yang dibahas di dalam kelas.
Dengan adanya masalah-masalah yang telah dijelaskan diatas, maka penulis merasa tertarik untuk mencoba menggunakan perbandingan antara model pembelajaran Direct Instruction dan metode pembelajaran pemberian tugas awal. Perbandingan ini digunakan di kelas X pada materi trigonometri. Penggunaan perbandingan model dan metode ini didasarkan pada asumsi bahwa belum ada guru mata pelajaran yang menggunakan kedua model dan metode pembelajaran ini. Oleh sebab itu, penulis mempunyai ketertarikan untuk melakukan penelitian dengan judul “Studi Perbandingan Hasil Belajar Matematika yang Menggunakan Model Pembelajaran Direct Instruction dengan Metode Pemberian Tugas Awal di Kelas X SMA Negeri 7 Kerinci Tahun Pelajaran 2010/2011“.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis dapat mengidentifikasikan beberapa masalah, yaitu :
1.   Hasil belajar matematika siswa kelas X SMAN 7 Kerinci Tahun Pelajaran 2010/2011 masih rendah.
2.   Kurangnya aktifitas siswa dalam proses pembelajaran.
3.   Kurangnya fungsi pengawasan terhadap siswa.
1.3 Pembatasan Masalah
Melihat luasnya ruang lingkup masalah yang teridentifikasi di bandingkan dengan waktu dan kemampuan penulis, maka masalah yang dikaji dalam penelitian ini terbatas pada rendahnya hasil belajar siswa dalam proses pembelajaran matematika di kelas X SMA Negeri 7 Kerinci Tahun Pelajaran 2010/2011.
1.4 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Apakah terdapat perbedaan hasil belajar matematika siswa yang menggunakan model pembelajaran Direct Instruction dan hasil belajar matematika siswa yang menggunakan metode pemberian tugas awal ?“.
1.5 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan hasil belajar matematika siswa yang menggunakan model pembelajaran Direct Instruction dan hasil belajar matematika siswa yang mengggunakan metode pemberian tugas awal.
1.6 Kegunaan Penelitian
Diharapkan penelitian ini berguna sebagai :
1.   Landasan bagi penulis sebagai calon pendidik dalam mengajar matematika di masa yang akan datang.
2.   Referensi bagi guru mata pelajaran matematika khususnya guru matematika di SMAN 7 Kerinci untuk meningkatkan hasil belajar siswa.
3.   Sebagai pedoman bagi peneliti lainnya untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
4.   Sebagai sarana untuk meningkatkan kreasi berpikir bagi siswa dalam usaha untuk mencapai hasil belajar yang lebih baik.
1.7 Asumsi
Asumsi dalam penelitian ini adalah :
1.   Siswa kelas X SMAN 7 Kerinci kurang antusias mengikuti materi pelajaran yang diberikan oleh guru.
2.   Orang tua peserta didik kurang optimal dalam mengawasi siswa di sekolah.
1.8 Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka sebagai hipotesis penelitian ini adalah :
H:   Hasil belajar matematika siswa yang menggunakan model pembelajaran Direct Instruction sama dengan hasil belajar matematika siswa yang menggunakan metode pemberian tugas awal di kelas X SMA Negeri 7 Kerinci Tahun Pelajaran 2010/2011.
H:   Hasil belajar matematika siswa yang menggunakan model pembelajaran Direct Instruction lebih baik dari hasil belajar matematika siswa yang menggunakan metode pemberian tugas awal di kelas X SMA Negeri 7 Kerinci Tahun Pelajaran 2010/2011.


 
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hakikat Belajar Dan Pembelajaran
Inti dari proses pendidikan adalah belajar. Belajar merupakan bagian yang penting dalam suatu proses perubahan tingkah laku seseorang. Perubahan tersebut disebabkan oleh aktifitas dan pengalaman yang diperoleh seseorang setelah mengalami proses belajar. Menurut Syaiful Bahri Djamarah (2008:13) mengatakan bahwa “Belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa dan raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotor”. Selanjutnya Oemar Hamalik (2007:27) menyatakan bahwa “Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman (learning is defined as the modification or strengthening of behavior through experiencing)”. Dengan demikian, belajar merupakan sebuah kegiatan yang bertujuan membentuk perilaku, sesuai dengan pengalamannya. 
Perubahan tingkah laku tersebut terjadi setelah proses belajar berlangsung. Hal ini dikarenakan adanya sebuah interaksi terhadap lingkungan belajarnya. Dalam proses interaksi tersebut, guru memberikan stimulus (rangsangan) yang berupa informasi kepada siswa, dan siswa memberikan respon (merangsang) informasi yang diberikan oleh guru. Interaksi tersebut dinamakan dengan proses belajar mengajar. Belajar mengajar dapat terjadi jika terdapat dua komponen yang saling berkaitan yaitu guru dan siswa. Kegiatan belajar mengajar dikelola oleh guru, dan siswa berperan sebagai objek yang diajarkan.
Menurut Oemar Hamalik (2007:44) mengatakan bahwa “Mengajar ialah menyampaikan pengetahuan kepada siswa didik atau murid di sekolah“. Selanjutnya Djamarah dan Zain (1996:46) mengemukakan bahwa “Mengajar adalah proses pengelolaan yang dilakukan oleh guru”. Kegiatan belajar mengajar dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah direncanakan sebelum pengajaran dilakukan. Guru dengan sadar merencanakan kegiatan belajar mengajar secara sistematis dengan memanfaatkan segala sesuatunya guna kepentingan pengajaran.
Keseluruhan kegiatan belajar mengajar disebut dengan pembelajaran. Tujuan dari pembelajaran adalah untuk membelajarkan siswa sebagai objek belajar. Menurut pendapat Dimyati dan Mudjiono (2002:157) mengemukakan bahwa “Pembelajaran merupakan proses yang diselenggarakan oleh guru untuk membelajarkan siswa dalam belajar bagaimana belajar memperoleh dan memproses pengetahuan, keterampilan, dan sikap“. Pernyataan Dimyati dan Mudjiono diperkuat oleh Hamzah B Uno (2006:2) mengatakan bahwa “Pembelajaran adalah upaya untuk membelajarkan siswa” Dengan demikian, pembelajaran merupakan sebuah interaksi yang dirancang dan diselenggarakan oleh guru untuk mencapai tujuan tertentu.
Pembelajaran bisa dikatakan sebagai bantuan yang diberikan oleh guru kepada siswa terhadap pengalaman siswa berinteraksi pada suatu lingkungan belajar dengan tujuan agar siswa dapat memperoleh ilmu, pengetahuan, penguasaan kemahiran, tabiat dan pembentukkan sikap serta kepercayaan pada siswa bagi guru. Jadi, pembelajaran adalah proses membantu siswa agar dapat belajar dengan baik sehingga tercapai tujuan yang diharapkan.
Pembelajaran yang diselenggarakan mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Sebelum pembelajaran berlangsung, guru terlebih dahulu merencanakan segala sesuatunya dalam memanipulasi kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan. Perencanaan sebelum pembelajaran perlu dikelola karena tanpa perencanaan, maka proses pembelajaran akan menjadi kurang teratur dan pencapaian hasil belajar akan menjadi kurang terarah dan tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Perencanaan pembelajaran difungsikan sebagai pedoman dalam proses belajar dan mengajar. Segala sesuatu yang berkaitan dengan manipulasi pembelajaran yang dilakukan oleh guru harus berpedoman pada perencanaan pembelajaran. perencanaan itu meliputi rumusan pengajaran, tujuan pengajaran, serta kegiatan yang dilakukan selama pembelajaran berlangsung. Menurut Sriyono dalam Elvy (2008:7) mengatakan bahwa “Perencanaan proses belajar mengajar terwujud dalam satuan pengajaran yang mana rumusan pengajaran, tujuan pengajaran, bahan mengajar, kegiatan mengajar, metode, alat bantu mengajar dan penilaian“. Dengan demikian, pembelajaran dilaksanakan secara terencana untuk mencapai hasil belajar yang lebih baik.
2.2 Tinjauan Tentang Model Pembelajaran Direct Instruction
Model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal dari akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Model pembelajaran adalah keseluruhan dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran. Jadi model pembelajaran cenderung perspektif, yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar.
Menurut Arends yang dikutip dalam Trianto (2007:29) mengartikan model pembelajaran Direct Instruction adalah “Salah satu pendekatan mengajar yang dirancang khusus untuk menunjang proses belajar siswa yang berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural yang terstruktur dengan baik yang dapat diajarkan dengan pola bertahap, selangkah demi selangkah“. Jadi, model pembelajaran Direct Instruction dilakukan secara terstruktur dan dibutuhkan kreatifitas guru dalam mengelola proses pengajaran.
 Selanjutnya pendapat dari Roy Killen (www.papantulisku.com/model-pembelajaran-direct-instruction) mengatakan bahwa “Model pembelajaran Direct Instruction merujuk pada teknik pembelajaran ekspositori (pemindahan pengetahuan dari guru kepada siswa secara langsung, misalnya ceramah, demonstrasi, dan tanya jawab) yang melibatkan seluruh kelas”. Dengan demikian, model pembelajaran Direct Instruction lebih merujuk pada pola-pola pembelajaran dimana peran guru adalah menjelaskan konsep keterampilan kepada sejumlah kelompok siswa dan menguji keterampilan siswa melalui latihan-latihan dibawah bimbingan dan arahan guru.
Tujuan dari model pembelajaran Direct Instruction adalah memaksimalkan penggunaan waktu belajar siswa. Pencapaian siswa dihubungkan dengan waktu yang digunakan oleh siswa dalam belajar/tugas dan kecepatan siswa untuk berhasil dalam mengerjakan tugas. Model pembelajaran Direct Instruction dirancang untuk menciptakan lingkungan belajar yang terstruktur dan berorientasi pada pencapaian hasil belajar. Dalam hal ini guru berperan sebagai penyampai informasi, dalam melakukan tugasnya, guru dapat menggunakan media pembelajaran. informasi yang disampaikan dengan model pembelajaran Direct Instruction berupa pengetahuan prosedural, yaitu pengetahuan tentang sesuatu dapat berupa fakta, konsep, prinsip, atau generalisasi. Dengan demikian, model pembelajaran ini adalah proses guru dalam mentransformasikan informasi atau keterampilan secara langsung kepada siswa dan pembelajaran berorientasi pada tujuan dan distrukturkan oleh guru. Penyusunan waktu yang digunakan untuk mencapai pembelajaran harus seefektif mungkin, sehingga guru dapat merancang dengan tepat waktu yang digunakan (Trianto, 2007:30).
Model pembelajaran Direct Instruction ini memiliki karakteristik tertentu, yaitu adanya sintaks atau tahapan-tahapan pembelajaran. Tahapan-tahapan model pembelajaran  Direct Indtruction ini dijadikan sebagai acuan oleh guru dalam menerapkan model pembelajaran ini di kelas. Adapun sintaks-sintaks pembelajaran di dalam model pembelajaran ini menurut Kurdi dan Nur dalam Trianto (2007:31) ditunjukkan dalam tabel berikut :

Tabel 2. Sintaks model pembelajaran Direct instruction
Fase
Peran guru
Fase 1
Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa
Guru menjelaskan TPK, informasi latar belakang pelajaran, pentingnya pelajaran, mempersiapkan siswa untuk belajar
Fase 2
Mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan
Guru mendemonstrasikan keterampilan dengan benar, atau menyajikan informasikan tahap demi tahap.
Fase 3
Membimbing pelatihan
Guru merencanakan dan memberikan bimbingan pelatihan awal.
Fase 4
Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik
Mencek apakah siswa telah berhasil melakukan tugas dengan baik, memberi umpan balik.
Fase 5
Memberikan kesempatan untuk pelatihan lanjutan dan penerapan
Guru mempersiapkan melakukan pelatihan lanjutan, dengan perhatian khusus pada penerapan kepada situasi lebih kompleks.

Selain dari sintaks model pembelajaran Direct Instruction yang telah dikemukakan oleh Kurdi dan Nur, sintaks model pembelajaran Direct Instruction juga dikemukakan oleh Bruce dan Weil (www.papantulisku.com\model-pembelajaran-direct-instruction) yaitu dapat dilihat di bawah ini :
1.   Orientasi
      Sebelum menyajikan dan menjelaskan materi baru, akan sangat menolong siswa jika guru memberikan kerangka pelajaran dan orientasi terhadap materi yang akan disampaikan.
2.   Presentasi
      Pada fase ini guru dapat menyajikan materi pelajaran baik berupa konsep-konsep maupun keterampilan.
3.   Latihan Terstruktur
      Pada fase ini guru memandu siswa untuk melakukan latihan-latihan. Peran guru yang penting dalam fase ini adalah memberikan umpan balik terhadap respon siswa dan memberikan penguatan terhadap respon siswa yang benar dan mengoreksi respon siswa yang salah.
4.   Latihan Terbimbing
      Pada fase ini guru memberikan kesempatan siswa untuk berlatih konsep atau keterampilan. Latihan terbimbing ini baik juga digunakan oleh guru untuk mengakses kemampuan siswa untuk melakukan tugasnya. Pada fase ini guru memonitor dan memberikan bimbingan jika diperlukan.
5.   Latihan Mandiri
      Pada fase ini siswa melakukan kegiatan latihan secara mandiri.
Model pembelajaran Direct Instruction ini juga memiliki beberapa kelebihan seperti yang dikemukakan oleh Slavin (www.papantulisku.com/model-pembelajaran-direct-instruction) :
1.   Model ini menuntut peran guru mengendalikan isi materi dan urutan informasi yang diterima oleh siswa sehingga dapat mempertahankan fokus mengenai apa yang harus dicapai siswa.
2.   Model pembelajaran ini dapat diterapkan secara efektif dalam kelas besar maupun kecil.
3.   Model ini dapat digunakan untuk menekan kesulitan-kesulitan yang mungkin dihadapi siswa sehingga hal-hal tersebut dapat diungkapkan.
4.   Model pembelajaran Direct Instruction ini merupakan cara yang efektif untuk mengajarkan informasi dan pengetahuan faktual yang sangat tersturktur.
5.   Model ini merupakan model yang tepat untuk mengajarkan konsep dan keterampilan-keterampilan yang eksplisit kepada siswa yang berprestasi rendah.
6.   Memungkinkan merangsang antusiasme siswa untuk belajar.
Disamping beberapa kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh model pembelajaran Direct Instruction yang telah dipaparkan diatas, Slavin (www.papantulisku.com/model-pembelajaran-direct-instruction) juga telah mengemukakan beberapa kelemahan dari model pembelajaran Direct Instruction, yaitu :
1.   Model ini sulit untuk mengatasi perbedaan dalam hal kemampuan, pengetahuan awal, tingkat pembelajaran dan pemahaman, gaya belajar, atau ketertarikan siswa.
2.   Model ini membuat siswa sulit mengembangkan keterampilan sosialnya.
3.   Berdampak pada kemampuan penyelesaian masalah, kemandirian, dan keingintahuan siswa menjadi sulit berkembang.
4.   Komunikasi satu arah yang menyebabkan siswa tidah paham atau salah paham atas sesuatu permasalahan.
5.   Kurangnya tingkat partisipasi siswa dalam proses pembelajaran.
6.   Jika model pembelajaran ini terlalu sering digunakan, maka akan mengakibatkan pada hilangnya rasa tanggung jawab mereka dalam mengikuti proses pembelajaran, karena mereka merasa bahwa segala sesuatunya akan disampaikan oleh guru.
2.3 Tinjauan Tentang Model Pembelajaran Problem Based Instruction
Model pembelajaran Problem Based Instruction sering juga disebut sebagai model pembelajaran atau pengajaran berdasarkan masalah. Model pembelajaran ini didasarkan pada banyaknya permasalahan yang membutuhkan penyelidikan autentik, yaitu penyelidikan yang membutuhkan penyelesaian nyata dari permasalahan yang nyata. Menurut pendapat Arends dalam Trianto (2007:66) mengtakan bahwa “Pengajaran berdasarkan masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran di mana siswa mengerjakan permasalahan yang otentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, Mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri”. Jadi, Model pembelajaran ini membutuhkan kemampuan penyelesaian masalah yang nyata dan autentik.
Model pembelajaran Prolem Based Instruction menyajikan kepada siswa situasi masalah yang otentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Penyajian model ini berupa sebuah interaksi antara guru dan siswa serta lingkungan belajar. Menurut Dewey dalam Trianto (2007:67) mengatakan bahwa “Belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dengan respons, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan. Lingkungan memberi masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah”. Dengan kata lain, model pembelajaran ini memberikan fasilitas belajar yang baik kepada siswa sebagai objek yang diajarkan.
Model pembelajaran Probem Based Instruction ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan model pembelajaran lainnya. Arends dalam Trianto (2007:68) mengemukakan beberapa karakteristik model pembelajaran Problem Based Instruction sebagai berikut :
  1. Pengajuan pertanyaan atau masalah. Bukannya mengorganisasikan di sekitar prinsip-prinsip atau keterampilan akademik tertentu, pembelajaran berdasarkan masalah mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang dua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa.
  2. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Meskipun pembelajaran berdasarkan masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, matematika, ilmu-ilmu sosial), masalah yang akan diselidiki telah benar-benar nyata agar dalam pemecahannya, siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.
  3. Penyelidikan autentik. Pembelajaran berdasarkan masalah mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis, dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisa informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi, dan merumuskan kesimpulan.
  4. Menghasilkan produk dan memamerkannya. Pembelajaran berdasarkan masalah menuntut siswa untuk menghasilakan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan.
  5. Kolaborasi. Pembelajaran berdasarkan masalah dicirikan oleh siswa yang bekerja sama satu dengan yang lainnya, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerja sama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.
Selain dari itu, model pembelajaran Problem Based Instruction ini dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual.
Model pembelajaran Problem Based Instruction ini memiliki 5 sintaks atau tahapan belajar seperti yang dikemukan oleh Ibrahim dan Nur dal Trianto (2007:71) sebagai berikut :
Tabel 3. Sintaks Model Pembelajaran Problem Based Instruction
Tahap
Tingkah Laku Guru
Tahap – 1
Orientasi siswa pada masalah
Guru menjelasakan tujuan pembelajaran, menjelasakan logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih.
Tahap – 2
Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
Tahap – 3
Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.



Tahap – 4
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya.
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyajikan hasil karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.
Tahap – 5
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.

Peran guru selaku pengajar dalam penerapan model pembelajaran Problem Based Instruction ini sangat berbeda dengan kelas tradisionl, menurut Ibrahim dala Trianto (2007:72) peran guru guru dalam kelas PBI adalah sebagai berikut :
  1. Mengajukan masalah atau mengorientasikan siswa kepada masalah autentik, yaitu masalah kehidupan nyata sehari-hari.
  2. Memfasilitasi atau membimbing penyelidikan misalnya melakukan pengamatan atau melakukan eksperimen atau percobaan.
  3. Memfasilitasi dialog siswa.
  4. Mendukung belajar siswa.
Model pembelajaran Problem Based Instruction ini memiliki beberapa kelebihan, seperti yang diungkapkan oleh Eko Budi Santoso (www.ras-eko.co.cc/2011/05/model-pembelajaran-Problem-Based-Instruction) antara lain sebagai berikut :
  1. Siswa dilibatkan pada kegiatan belajar, sehingga pengetahuannya benar-benar diserap dengan baik.
  2. Siswa dilatih untuk bekerja sama dengan siswa lainnya.
  3. Siswa berperan aktif dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM).
  4. Siswa lebih memahami konsep matematika yang diajarkan sebab mereka sendiri yang menemukan konsep tersebut.
  5. Melibatkan siswa secara aktif memecahkan masalah dan menuntut keterampilan berpikir siswa lebih tinggi.
  6. Pembelajaran menjadi lebih berwarna.
  7. Siswa dapat merasakan manfaat pembelajaran matematika, sebab masalah yang diselesaikan merupakan masalah sehari-hari.
  8. Menjadikan siswa lebih mandiri.
  9. Menanamkan sikap sosial yang positif, memberi aspirasi dan menerima pendapat orang lain.
  10. Dapat mengembangkan cara berpikir logis serta berlatih mengemukakan pendapat.
Selain dari itu, model pembelajaran ini juga memiliki kekurangan. Eko Budi Santoso (www.ras-eko.co.cc/2011/05/model-pembelajaran-Problem-Based-Instruction) juga mengemukakan beberapa kekurangan dari model ini yaitu :
  1. Bagi siswa yang kurang aktif, model pembelajaran ini tidak dapat tercapai dengan baik.
  2. Membutuhkan waktu dan dana yang cukup besar.
  3. Tidak semua mata pelajaran dapat diterapkan dengan model pembelajaran ini.
  4. Tidak semua materi yang ada pada mata pelajaran matematika bisa diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran ini.
  5. Membutuhkan fasilitas yang memadai seperti laboratorium, tempat duduk siswa yang terkondisi untuk belajar kelompok, perangkat pembelajaran dll.
  6. Menuntut guru membuat perencanaan pembelajaran yang lebih matang.
  7. Model pembelajaran ini kurang efektif jika siswa terlalu banyak. Idealnya maksimal 30 siswa per kelas.
2.4 Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan hasil yang diperoleh siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Menurut Ngalim Purwanto dalam Elvy (2008:12) mengatakan bahwa “Hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindakan belajar dan tindakan mengajar“. Bagi guru hasil belajar merupakan akhir dari tindakan mengajar, sedangkan bagi siswa hasil belajar merupakan akhir dari proses belajar. Dengan kata lain, hasil belajar dapat diperoleh oleh siswa setelah proses belajar berakhir.
Hasil belajar siswa dapat diperoleh melalui tes, baik yang bersifat tes objektif maupun tes yang bersifat subjektif. Hasil belajar yang paling esensial diukur adalah hasil belajar kognitif, karena berkaitan dengan aspek intelektual yang terdiri dari pengetahuan atau ingatan , pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Setelah hasil belajar diperoleh, maka siswa dapat dikatakan sebagai siswa yang telah belajar. Siswa yang telah mengalami belajar dan mendapatkan hasil belajar akan mengalami sebuah perubahan tingkah laku seperi yang diharapkan. Dan merupakan prestasi belajar yang dicapai seseorang setelah mengalami proses belajar. Menurut Oemar Hamalik (2007:30) mengatakan bahwa “Seseorang yang telah telah belajar adalah terjadinya perubahan tingkah laku pada orang tersebut misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti“.
Perubahan tingkah laku terjadi seiring dengan proses belajar mengajar. Menurut Djamarah (2008:15), ada 6 ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar, yaitu :
1.   Perubahan terjadi secara sadar.
Ini berarti bahwa seseorang yang belajar akan menyadari terjadinya perubahan itu atau sekurang-kurangnyaia merasakan telah terjadi adanya suatu perubahan dalam dirinya.
2.   Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional.
Sebagai hasil belajar, perubahan yang terjadi dalam diri seseorang berlangsung secara berkesinambungan, dan tidak statis.
3.   Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif.
Dalam perbuatan belajar, perubahan-perubahan itu senantiasa bertambah dan bertujuan untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya.
4.   Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara.
5.   Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah.
6.   Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan tahapan yang diperoleh oleh siswa setelah mengalami proses belajar di kelas, yang bisa menjadi faktor esensial pendorong siswa untuk merubah perilakunya  secara sadar dan terarah. Hasil belajar yang diperoleh oleh siswa merupakan sebuah patokan dalam merubah pola pikirnya untuk berusaha mendapatkan hasil yang lebih baik. Bagi guru, hasil belajar siswa dijadikan pedoman untuk mengukur sejauh mana tingkat keberhasilan  yang dicapai serta dijadikan sebagai bahan evaluasi proses pengajaran selanjutnya.
2.5 Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual merupakan kerangka berpikir yang menjadi dasar penelitian yang akan penulis lakukan.  Dalam penelitian ini peneliti mencoba melihat perbandingan hasil belajar matematika siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran Direct Instruction lebih baik dengan model pembelajaran Problem Based Instruction. Untuk maksud tersebut maka pembelajaran dibedakan atas 2 kelas yaitu kelas eksperimen I dan kelas eksperimen II. Untuk kelas eksperimen I diberikan perlakuan dengan model pembelajaran Direct Instruction, sedangkan pada kelas eksperimen II dengan menggunakan model Pembelajaran Problem Based Instruction.
Dalam pelaksanaannya, penelitian ini akan terfokus pada proses pembelajaran yang dilaksanakan di kelas eksperimen I dan II dengan memperhatikan langkah-langkah pelaksanaannya sesuai dengan model yang diterapkan pada masing-masing kelas. Pada akhir pembelajaran diadakan tes untuk melihat keberhasilan pembelajaran yang telah dilakukan pada masing-masing kelas baik itu kelas eksperimen I maupun kelas eksperimen II. Dari hasil tes tersebut akan dibandingkan dan dianalisis dengan uji statistik dengan uji-t, sehingga dapat diketahui besarnya peningkatan hasil belajar yang telah dicapai. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada kerangka konseptual di bawah ini :
 

Cara Setting Terbaru 2012

Aneka Cara Unik dan Menarik

Referensi Blogger Indonesia